Salah seorang anggota Krida Wibawa dari Gereja Santo Servatius Kampung Sawah, di Jati Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada perayaan Natal, Rabu malam (24/12). |
JAKARTA - Sekitar delapan pria berkostum ala pendekar Betawi tampak hilir mudik di sudut-sudut Gereja Santo Servatius Kampung Sawah, di Jati Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat, pada perayaan Natal, Rabu malam (24/12).
Layaknya jawara Betawi, mereka memakai baju koko berwarna hitam dan celana pangsi berbalut sarung, serta tak lupa peci dan golok tampak mentereng terselip di pinggang.
Mereka adalah para pengawal yang disebut Krida Wibawa, para pendekar pengawal perarakan imam sejak dari sakristi hingga menuju altar. Demikian juga saat perarakan persembahan dan perarakan imam pulang menuju sakristi.
Para pendekar tersebut tidak ikut ke panti imam, melainkan mengawal dari dekat pintu utama gereja, sesekali mondar mandir mengawasi jalannya misa yang saat itu diikuti lebih dari lima ribu jemaat dan membantu mencarikan tempat duduk bagi jemaat yang baru datang.
"Krida Wibawa hanya ada di paroki ini, di tempat lain tidak ada," kata seorang anggota kelompok tersebut, Eddy Pepe, kepada ANTARA News.
Kelompok Krida Wibawa dibentuk pada 1997, dan sekarang beranggotakan sekitar 30 orang berusia 28 hingga 60 tahun. Untuk menjadi anggotanya tidak bisa sembarangan, melainkan harus berasal dari keturunan Betawi asli Kampung Sawah.
Eddy merupakan generasi penerus Krida Wibawa. Ayahnya Gregorius Pepe adalah salah satu penggagas dibentuknya kelompok pengawal tersebut sebagai upaya mengakulturasikan budaya Betawi ke dalam tradisi gereja.
"Paling tidak kami bisa mempertahankan adat Betawi karena gereja ini sejarahnya tidak lepas dari Betawi," kata pemuda yang sebelumnya aktif di dewan paroki itu.
Ia mengemukakan, kostum Krida Wibawa merupakan pakaian khas Betawi yang sehari-hari dipakai warga asli Kampung Sawah.
"Sehari-hari pakai baju koko dan peci. Jadi, itu yang kami pakai di gereja," ujarnya.
Eddy adalah keturunan keempat penganut Katolik dari masyarakat Betawi Kampung Sawah. Dalam sejarahnya, gereja yang telah berusia lebih dari seabad itu sebagian besar beranggotakan warga Katolik dari Betawi di wilayah Kampung Sawah.
Oleh karena itu, budaya Betawi masih ditunjukkan oleh para anggota gereja, termasuk lewat kelompok Krida Wibawa.
Krida Wibawa berasal dari kata Krida yang berarti kerja, dan Wibawa. Mereka tidak hanya bertugas menjadi pengawal liturgi yang memastikan Perayaan Ekaristi berjalan dengan lancar, namun menjalin komunikasi dari teman-teman sesama orang Betawi.
"Setiap bulan kami kumpul, berbagi tugas, menjalin komunikasi," ujar Eddy, yang juga Ketua Komunitas Suara Kampung Sawah.
Kehadiran Krida Wibawa, menurut Eddy, diapresiasi warga, termasuk yang bukan orang asli Betawi.
"Jemaat sudah terbiasa dengan kehadiran kami, bahkan ada banyak dari suku lain yang mau bergabung, tetapi memang tidak bisa karena harus keturunan asli dari Kampung Sawah," jelasnya.
Kehadiran Krida Wibawa merupakan bagian dari misi Budaya Paroki Santo Servatius Kampung Sawah untuk melestarikan budaya Betawi.
"Kami ingin memberi ruang kepada kearifan lokal agar masuk ke dalam tradisi gereja. Salah satunya dengan Krida Wibawa," kata salah seorang jemaat asli Kampung Sawah, Richard Jacob Napiun.
Oleh sebab itu, menurut mantan Wakil Ketua Dewan Paroki Santo Servatius tersebut, anggota Krida Wibawa juga diberi bekal pengetahuan soal keagamaan dan budaya Betawi.
"Mereka diberikan pemahaman tentang keagamaan, perayaan, dan pemahaman budaya Betawi yang harus diperdalam," tutur Jacob.
Sekitar 118 tahun lalu, Pastur Bernardus Schweitz asal Belanda membaptis 18 anak Betawi di Kampung Sawah yang dijadikan sebagai hari kelahiran umat Katolik Kampung Sawah.
Saat ini terdapat 30 persen warga Betawi Kampung Sawah dari total 8.000 jemaat paroki tersebut.
Pada perayaan natal di Gereja Santo Servatius, Rabu malam, adat Betawi pun semakin terasa dari banyaknya jemaat dan panitia yang menghadiri misa dengan mengenakan peci dan baju koko. Suasana yang jarang ditemukan di gereja lainnya.
No comments:
Post a Comment