Latest News

Saturday, April 28, 2012

Orang Tua yang Berbahagia, Segeralah Baptis Anak Anda!

Paus Benediktus XVI sedang membaptis seorang bayi. (sumber: catholicregister.org)

Ada sebuah tren di masa sekarang di mana orang tua Katolik lebih memilih membaptis anaknya pada usia yang dianggap mereka pantas atau cukup dewasa ketimbang membaptis anaknya pada saat bayi. Seorang anak murid saya (kelas 2 SMP) ternyata hingga sekarang masih belum dibaptis. Ketika saya tanya alasannya kenapa demikian, ia berkata bahwa orangtuanya menunggu agar ia dewasa dahulu, mencapai usia 17 tahun barulah ia dibaptis.


Hal ini mungkin terjadi karena kurangnya kesadaran orang tua akan perlunya pembaptisan bagi anak-anak mereka. Bisa jadi pula karena terpengaruh oleh pandangan-pandangan saudara terpisah Protestan yang menolak pembaptisan bayi. Apa yang umumnya menjadi alasan para orang tua Katolik menunda pembaptisan bagi anak-anak mereka adalah mereka ingin agar anak-anak mereka terlebih dahulu memahami dan mengetahui ajaran-ajaran Kristus sehingga anak-anak mereka dengan kesadaran mereka sendiri mengakui Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat serta memilih bersatu dalam Gereja Katolik. Di sini kita melihat bahwa orang tua yang demikian secara tidak langsung menganggap karunia iman haruslah diterima ketika seorang anak mampu menggunakan nalar mereka.

Hal ini sebenarnya memprihatinkan. Mengapa? Karena dengan demikian para orang tua memperpanjang masa resiko bagi anak-anak mereka untuk kehilangan meterai keselamatan yang harusnya diterima mereka segera sesudah mereka lahir. Untuk itu, saya dalam tulisan ini hendak menyampaikan pesan kepada para orang tua Katolik supaya segera membaptis anak-anak mereka, supaya segera memberikan meterai keselamatan bagi mereka,

Mari kita mulai dulu dengan apa itu Pembaptisan. Saya kutip dari Katekismus Gereja Katolik:

KGK 1213 Pembaptisan suci adalah dasar seluruh kehidupan Kristen, pintu masuk menuju kehidupan dalam roh [vitae spiritualis ianua] dan menuju Sakramen-sakramen yang lain. Oleh Pembaptisan kita dibebaskan dari dosa dan dilahirkan kembali sebagai putera-puteri Allah; kita menjadi anggota-anggota Kristus, dimasukkan ke dalam Gereja dan ikut serta dalam perutusannya: "Pembaptisan adalah Sakramen kelahiran kembali oleh air dalam Sabda" (Catech. R. 2,2,5).

KGK 1257 Tuhan sendiri mengatakan bahwa Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan Bdk. Yoh 3:5.. Karena itu, Ia memberi perintah kepada para murid-Nya, untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa Bdk. Mat 28:19-20; DS 1618; LG 14; AG 5.. Pembaptisan itu perlu untuk keselamatan orang-orang, kepada siapa Injil telah diwartakan dan yang mempunyai kemungkinan untuk memohon Sakramen ini Bdk. Mrk 16:16.. Gereja tidak mengenal sarana lain dari Pembaptisan, untuk menjamin langkah masuk ke dalam kebahagiaan abadi. Karena itu, dengan rela hati ia mematuhi perintah yang diterimanya dari Tuhan, supaya membantu semua orang yang dapat dibaptis, untuk memperoleh "kelahiran kembali dari air dan Roh". Tuhan telah mengikatkan keselamatan pada Sakramen Pembaptisan, tetapi Ia sendiri tidak terikat pada Sakramen-sakramen-Nya.

Melihat dua pernyataan Katekismus Gereja Katolik di atas, kita bisa mengetahui bahwa Sakramen Pembaptisan itu begitu penting dalam tata keselamatan kita, pembaptisan itu perlu bagi kita untuk keselamatan kita. Tidak ada cara lain untuk menjamin keselamatan kita selain Pembaptisan. Rahmat apa saja yang kita terima melalui pembaptisan sehingga dikatakan pembaptisan itu penting bagi keselamatan kita? Saya akan mengacu lagi kepada Katekismus Gereja Katolik.

Pembaptisan yang kita terima membuahkan:
1. Pengampunan seluruh dosa kita termasuk dosa asal yang kita terima dari Adam dan Hawa (bdk. Katekismus Gereja Katolik 1263 dan 1279)
2. Pemberikan meterai tak terhapuskan yang menggabungkan kita dengan Kristus (bdk. KGK 1272-1274 dan 1279)
3. Persatuan dengan Gereja-Nya (bdk. KGK 1267 dan 1279)
4. Pengangkatan kita sebagai anak-anak Allah (bdk. KGK 1265 dan 1279)
5. Kesatuan Sakramental dari Kesatuan Kristen (bdk. KGK 1271)

Inilah buah-buah pembaptisan itu. Inilah yang diterima oleh anak-anak ketika mereka dibaptis. Setiap manusia (kecuali Kristus dan Maria), dilahirkan dalam kodrat manusia yang jatuh dan dinodai dosa asal. Sebagai akibat dosa asal, setiap manusia mengalami �mati kekudusan� yang menghalangi mereka untuk menjadi anak-anak Allah. Oleh karena itu mereka membutuhkan kelahiran kembali di dalam pembaptisan agar mereka dimasukkan ke dalam kerajaan Allah, dipersatukan dengan Kristus dan Gereja-Nya dan tentunya diangkat menjadi anak-anak Allah. Pembaptisan memerdekakan anak-anak dari penjara dosa asal. Oleh karena itu, �Gereja dan orang-tua akan menghalangi anak-anaknya memperoleh rahmat tak ternilai menjadi anak Allah, kalau mereka tidak dengan segera membaptisnya sesudah kelahiran.� (KGK 1250)

Kitab Hukum Kanonik juga menyatakan:
KHK No. 867 Point  1 dan 2. Para orangtua wajib mengusahakan agar bayi-bayi dibaptis dalam minggu-minggu pertama; segera sesudah kelahiran anaknya, bahkan juga sebelum itu, hendaknya menghadap pastor paroki untuk memintakan sakramen bagi anaknya serta dipersiapkan dengan semestinya untuk itu. Bila bayi berada dalam bahaya maut, hendaknya dibaptis tanpa menunda-nunda.

Kristus sendiri pernah berkata, �sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam Kerajaan Allah.� (Yoh 3:5). Di sini Kristus menekankan perlunya kelahiran kembali dalam pembaptisan untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sementara itu, di ayat lain Kristus berkata: �Biarkanlah anak-anak itu datang kepada-Ku, dan jangan kamu menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah.� (Luk 18:16). Bila anak-anak adalah empunya Kerajaan Allah dan jalan pertama agar masuk ke dalamnya adalah melalui pembaptisan, maka dari itu pembaptisan bayi adalah begitu penting untuk dilaksanakan.

St. Hipolitus dari Roma dalam tulisan Tradisi Para Rasul yang ditulis pada tahun 215 M mengatakan, �Anak-anak haruslah dibaptis pertama kali. Semua anak yang dapat menanggapi [pembaptisan] untuk dirinya sendiri, hendaklah mereka menanggapinya. Bila ada anak-anak yang tidak dapat menanggapi [pembaptisan] untuk dirinya sendiri, hendaklah orang tua mereka menanggapinya untuk mereka, atau seseorang lain dari keluarga mereka.�

Sedangkan Bapa Gereja St. Gregorius dari Nazianzen mengatakan: �Apakah anda memiliki anak bayi? Jangan biarkan dosa memiliki kesempatan. Hendaklah anak bayi dikuduskan sejak masa kecilnya. Dalam usianya yang termuda, biarkanlah dia dikuduskan oleh Roh Kudus.� (Oration on Holy Baptism, 40:7 [388 M]

Dengan demikian, baik Tradisi Suci, Kitab Suci, maupun Magisterium Gereja menekankan pentingnya pembaptisan bayi bagi keselamatan bayi-bayi itu sendiri.

Tentang pembaptisan bayi ini, kita juga bisa melihat bahwa iman adalah karunia Allah bagi semua manusia dari segala usia termasuk usia 1 jam, 1 hari, atau 1 tahun. Bagi bayi-bayi, dalam pembaptisannya, mereka akan menerima iman akan Allah. Tentu pembaptisan walau penting dan perlu untuk keselamatan, tetapi tidaklah cukup. Anak-anak itu harus bertambah, tumbuh besar dan hidup dalam iman. Pada usianya yang masih kecil, iman itu haruslah sudah mereka terima melalui pembaptisan. Tetapi iman itu yang mereka terima itu bagaikan sebuah hadiah istimewa Allah yang terbungkus oleh kertas kado yang harus dibuka, diungkapkan, dijelaskan dan diajarkan oleh orang tua mereka setiap hari.

Oleh karena itu, bersegeralah membaptis anak-anak anda, hai orang tua yang berbahagia.

Pax et bonum

Gita Sang Surya St. Fransiskus dari Assisi

 
Terpujilah Engkau, Tuhanku, dengan sekalian makhluk-Mu
terutama tuanku saudara Surya,
dia itu siang dan menerangi dengan pancarannya.
Dia itu elok dan bersinar dengan teramat cerahnya,
pembawa lambang-Mu, sang Mahaluhur.

Terpujilah Engkau Tuhanku
karena saudari Air,
besar gunanya, merendah, mulia, dan murni.

Terpujilah Engkau, Tuhanku,
karena saudari kami, Ibu Pertiwi,
penyuap dan pengasuh kami,
penghasil buah-buahan,
bunga beraneka-warna dan hijau-hijauan.

Puji dan muliakanlah Tuhanku,
beri syukur kepada-Nya,
abdilah Dia dengan kerendahan hati besar.

(St. Fransiskus dari Assisi, Gita Sang Surya)

Kutipan Para Paus dan Uskup - 5


Beato Yohanes Paulus II

Misteri keselamatan dinyatakan kepada kita dan diteruskan dan tercapai didalam Gereja, dan dari sumber yang asli dan satu-satunya ini, bagaikan air yang 'rendah hati, berguna, berharga, dan murni' misteri ini mencapai dunia. Para muda dan umat tercinta, seperti Brother Francis kita harus sadar akan dan menyerap kebenaran fundamental yang diwahyukan ini, yang terkandung didalam kata-kata yang di sucikan oleh tradisi: Tidak ada keselamatan diluar Gereja. Hanya dari dia-lah (Gereja) kuasa hidup menuju Kristus dan RohNya mengalir secara pasti dan secara penuh, untuk memperbaharui seluruh kemanusiaan, dan karenanya mengarahkan setiap manusia untuk menjadi bagian dari Tubuh Mistik Kristus. Beato Yohanes Paulus II, Paus dan Uskup Roma, dalam Radio Message for Franciscan Vigil in St. Peter's and Assisi, October 3, 1981, L'Osservatore Romano, October 12, 1981


Kesabaran adalah kekuatan. Kesabaran bukanlah ketiadaan tindakan; melainkan adalah "waktu". Menunggu pada waktu yang tepat untuk bertindak, untuk prinsip-prinsip yang tepat dan dengan cara yang benar.  Fulton Sheen, Uskup Agung New York

Daripada minta jodoh, lebih baik kita minta kebesaran hati untuk terbuka menerima segala rencana Allah atas hidup kita. � Vincentius Sutikno, Uskup Surabaya

Saya tidak akan percaya kepada Injil sekalipun, seandainya bukan otoritas Gereja Katolik mendorong saya ke arah itu. � St. Agustinus, Doktor Gereja dan Uskup Hippo,

Kalau kita berpuasa atau berkorban hendaknya tidak dilepaskan dari keadilan. Menyakiti diri sendiri tidaklah akan lebih baik daripada mengingat orang lapar dan memberi makanan kepadanya. Demikian juga sebagai orang yang percaya kepada Allah, kita harus mampu membebaskan orang tertindas, memberi makan kepada orang yang lapar, memberi tumpangan bagi orang yang tidak mempunyai rumah, memberi pakaian bagi orang telanjang. Karena kurangnya keadilan sosial terjadilah kekurangmakmuran dan kelesuan dalam hidup. Dalam kehidupan ini perlu kita mempunyai pengalaman iman sebagai orang yang percaya kepada Allah. Kalau kita pernah mengalami belaskasih Allah dalam hidup kita, maka kitapun akan dimampukan untuk menaruh belaskasih kepada sesama manusia sebagai ciptaanNya. � H.J.S Pandoyoputro, O. Carm., Uskup Malang

Saya tahu bahwa banyak dari kalian menggunakan suatu Salib Kristus, bukan untuk pamer, juga bukan untuk membahayakan kalian pada kerja atau rekreasi kalian, tetapi sebagai indikasi sederhana bahwa kalian menghargai peran Yesus Kristus dalam sejarah dunia dan bahwa kalian sedang mengusahakan untuk hidup menurut standar Kristus dalam kehidupan sehari-hari kalian. � Keith Michael Patrick Cardinal O�Brien, Kardinal Gereja Katolik dan Uskup Agung Saint Andrews and Edinburgh (Skotlandia)

Kita mengharapkan kenikmatan dari hal-hal yang dijanjikan kepada kita karena rahmat. Kalau kita memandangnya dalam iman sebagai dalam cermin, hal-hal itu sudah hadir bagi kita. � St. Basilius, Doktor Gereja dan Uskup Caesarea

Jika kita pernah melupakan Bapa, Putera dan Roh Kudus, hanya ada satu tempat yang wajar untuk kita pergi, yaitu ke dalam keputusasaan yang mendalam. � Robert C. Morlino, Uskup Madison.

Kita perlu menjadi Katolik lebih dahulu dan selalu. Yesus Kristus adalah pusat dari kehidupan kita dan Gereja adalah ibu dan guru kita. Segala hal yang kita lakukan harus mengalir dari itu. � Charles J. Chaput, OFM. Cap., Uskup Agung Philadelphia

Makhluk manakah yang diciptakan dengan martabat yang demikian itu? Itulah manusia, sosok yang agung, yang hidup dan patut dikagumi, yang dalam mata Allah lebih bernilai daripada segala makhluk. Itulah manusia; untuk dialah langit dan bumi dan lautan dan seluruh ciptaan. Allah sebegitu prihatin dengan keselamatannya, sehingga Ia tidak menyayangi Putera-Nya yang tunggal untuk dia. Allah malahan tidak ragu-ragu, melakukan segala sesuatu, supaya menaikkan manusia kepada diri-Nya dan memperkenankan ia duduk di sebelah kanan-Nya. � St. Yohanes Krisostomos, Doktor Gereja dan Uskup Konstantinopel

Kodrat kita yang sakit membutuhkan dokter; manusia yang jatuh membutuhkan orang yang mengangkatnya kembali; yang kehilangan kehidupan membutuhkan seorang yang memberi hidup; yang kehilangan hubungan dengan yang baik membutuhkan seorang yang membawanya kembali kepada yang baik; yang tinggal dalam kegelapan merindukan kedatangan sinar; yang tertawan merindukan seorang penyelamat, yang terbelenggu seorang pelepas, yang tertekan di bawah kuk perhambaan memerlukan seorang pembebas. Bukankah itu hal-hal yang cukup berarti dan penting untuk menggerakkan Allah, sehingga Ia turun bagaikan seorang dokter yang mengunjungi kodrat manusiawi, setelah umat manusia terjerat dalam situasi yang sangat menyedihkan dan memprihatinkan. � St. Gregorius dari Nyssa, Uskup Nyssa

Kita semua yang telah menerima Roh yang satu dan sama, yakni Roh Kudus, dihubungkan antara satu sama lain dan bersama dengan Kristus. Walaupun kita banyak pribadi, Kristus membiarkan Roh-Nya dan Roh Bapa-Nya tinggal di dalam setiap kita, namun Roh yang satu dan tidak terbagi ini, mengantar yang berbeda satu sama lain itu melalui diri-Nya menuju kesatuan... dan mengupayakan agar di dalam Dia semuanya menjadi satu dan sama. Dan seperti kekuasaan kodrat manusiawi Kristus yang kudus mengakibatkan bahwa semua, yang di dalamnya Ia ada, membentuk satu tubuh tunggal, demikian menurut pendapat saya, Roh Allah yang satu dan tidak terbagi, yang tinggal di dalam semua orang, mengantar semua orang menuju kesatuan rohani. � St. Sirillus dari Alexandria, Doktor Gereja dan Uskup Alexandria.

collected by Indonesian Papist. pax et bonum

Tuesday, April 24, 2012

Penampakan Bunda Maria yang Pertama


Tahukah anda di mana penampakan Bunda Maria yang pertama? Penampakan Bunda Maria yang pertama tercatat adalah penampakan Bunda Maria kepada St. Yakobus Rasul, saudara St. Yohanes Rasul dan salah satu dari 12 Murid Yesus Kristus. Penampakan ini terjadi ketika Bunda Maria masih hidup. Berdasarkan Tradisi, St. Yakobus diutus oleh St. Petrus ke Spanyol untuk menyebarkan Injil kepada orang-orang di wilayah tersebut. Nama St. Yakobus adalah �Sant Iago� dalam bahasa Spanyol yang kemudian berkembang menjadi �Santiago�.


St. Yakobus kemudian sampai ke Timur Laut Spanyol yaitu di daerah Zaragoza. Karya Penginjilannya tidak berjalan mulus. Orang-orang di sana tidak antusias akan Kabar Gembira yang dibawa kepada mereka. Dalam suatu kondisi keputusasaan dan kesedihan, St. Yakobus berdoa di tepi sungai Ebro di Zaragoza. Pada saat itu, Bunda Maria mengalami bilokasi (berada di dua tempat secara bersamaan) dan menampakkan diri kepada St. Yakobus untuk meneguhkannya.

Basilika Minor Our Lady of the Pillar

Bunda Maria memberikan kepada St. Yakobus suatu patung kayu kecil dirinya (diri Bunda Maria) dan meminta St. Yakobus untuk membangun sebuah gereja untuk menghormati-Nya dengan patung yang diletakkan di pilar/tiang berdiri yang berada di altar. Dari hal inilah, muncul gelar terhadap Bunda Maria: �Our Blessed Lady of the Pillar� (St. Perawan Maria dari tiang).  St. Yakobus kemudian membangun sebuah kapel pada tempat itu untuk menghormati Bunda Maria dan menempatkan patungnya di atas pilar yang ia dirikan. Patung Bunda Maria serta pilar yang didirikan oleh St. Yakobus sekarang berada di Basilika Minor Our Lady of the Pillar.

Katedral Basilika Santiago de Compostela

Kapan peristiwa ini terjadi? Pada 5 tahun pertama sejak Pentakosta, St. Yakobus berada di Spanyol. Sedangkan Tradisi setempat menyatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada hari Sabtu, 2 Januari 40 M berdasarkan Kalender Julian. St. Yakobus sendiri akhirnya menjadi martir di Yerusalem pertama dari kalangan Para Rasul. St. Yakobus dipenggal pada masa pemerintahan Herodes Agrippa I pada tahun 44 Masehi. Jadi, pada tahun-tahun pertama setelah Pentakosta St. Yakobus pergi ke Spanyol dan kemudian kembali lagi ke Yerusalem pada sekitar tahun 44 M dan penampakan tersebut terjadi ketika St. Yakobus di Spanyol.

Karena jenazahnya tidak diizinkan untuk dimakamkan di Yerusalem, maka sisa-sisa jasadnya dibawakan ke Compostela, Spanyol, oleh para pengikutnya. Di sana mereka memakamkannya di tempat yang layak. Beberapa abad kemudian, kaum Moor Islam menginvasi sebagian besar daerah Spanyol. Peziarahan ke Compostela dimulai sejak Charles Agung menaklukkan kembali daerah tempat makam St. Yakobus berada. Di atas makam tersebut, didirikan sebuah kapel yang kemudian sekarang menjadi Katedral Basilika Metropolitan Santiago de Compostela. Tempat ini dikunjungi dua kali oleh Beato Yohanes Paulus II (1982 dan 1989) serta sekali oleh Paus Benediktus XVI (2010).

Referensi:
pax et bonum

Monday, April 23, 2012

Catatan Penjelasan Kekeliruan-kekeliruan De Mello


CATATAN PENJELASAN

tulisan-tulisan dari imam Yesuit India, Romo Anthony de Mello (1931-1987) telah bersirkulasi secara intensif di banyak negara dunia dan dibanyak orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. 1 Dalam karya-karya ini, yang sering berbentk anekdot singkat yang dihadirkan dalam gaya yang mudah dimengerti dan dibaca, Romo de Mello mengumpulkan unsur-unsur dari kebijaksanaan timur yang dapat membantu dalam mencapai kontrol-diri, dalam memecahkan keterikatan-keterikatan dan kesukaan-kesukaan yang menghalangi kita untuk menjadi benar-benar bebas, dalam menghindari egoisme, dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup dengan ketenangan tanpa membiarkan diri kita sendiri dipengaruhi oleh dunia di sekitar kita, dan dalam saat yang bersamaan sadar akan kekayaan-kekayaan dunia. Adalah penting untuk mengindikasikan bahwa hal-hal positif ini bisa ditemukan di kebanyakan tulisan-tulisan Romo de Mello. Terutama dalam karya-karya yang tertanggal dari tahun-tahun awalnya sebagai direktur retreat, sementara menunjukkan pengaruh arus spiritual Budhisme dan Taoisme, Romo de Mello masih berada, dalam banyak hal, pada batasan spiritualitas Kristen. Dia berbicara mengenai menunggu dalam keheningan dan doa untuk kedatangan Roh, suatu karunia murni dari Bapa (Contact With God: Retreat Conferences, 3-7). Dia memberi presentasi yang sangat bagus dari doa Yesus dan doa yang diajarkan Yesus kepada kita, dengan mengambil Bapa Kami sebagai dasar (ibid., 42-44). Dia juga berbicara mengenai iman, pertobatan dan kontemplasi atas misteri-misteri kehidupan Kristus menurut metode St. Ignatius [dari Loyola]. dalam karyanya Sadhana: A Way to Godyang dipublikasikan pertama kali pada 1978, Yesus menempati tempat yang sentral, terutama di bagian terakhir ("Devotion," 99-134). Dia [Romo de Mello] berbicara mengenai doa petisi dan intersesi sebagaimana diajarkan oleh Yesus di Injil, mengenai doa pemujian dan invokasi [ie. pemanggilan] nama Yesus. Bukunya didedikasikan kepada Perawan Maria yang Terberkati, seorang model [akan hidup yang penuh] kontemplasi (ibid., 4-5)


Namun sudah [terlihat] dalam karyanya dia mengembangkan teori kontemplasi sebagai suatu kesadaran, yang sepertinya tidak kurang dalam ambiguitas. Sudah [terlihat] pada permulaan buku tersebut, konsep wahyu Kristiani disamakan dengan Lao-tse, dengan preferensi lebih terhadap yang akhir [ie. si Lao-tse]: "'Keheningan adalah wahyu yang agung,' kata Lao-tse. Kita terbiasa berpikir akan Kitab Suci sebagai wahyu Alah. Dan begitulah itu. Aku ingin kau sekarang untuk menemukan wahyu yang dibawa oleh keheningan" (9; cf. ibid., 11). [Menurut Romo de Mello] dalam melatih sebuah kesadaran akan sensasi tubuh kita, kita telah berkomunikasi dengan Allah, sebuah komunikasi yang dijelaskan dalam istilah berikut: "Banyak mistik mengatakan kepada kita bahwa, sebagai tambahan pada pikiran dan hati dimana kita berkomunikasi dengan Allah, kita semuanya dianugrahi dengan pikiran mistik dan hati mistik, sebuah sarana yang membuat memungkinkan kita untuk mengetahui Allah dengan langsung, untuk mengerti dan mengethuinya secara intuisi dalam keberadaannya, meskipun secara gelap..." (ibid., 25). Tapi intuisi ini, tanpa gambaran atau bentuk, apakah itu suatu kekosongan: "Tapi apa yang aku pandang ketika aku memandang dengan hening kepada Allah? sebuah realtias tanpa gambaran/bayangan, tanpa bentuk. Sebuah kekosongan!" (ibid., 26). Untuk berkomunikasi dengan yang tak terbatas [menurut Romo de Mello], adalah perlu untuk "menatap pada sebuah kekosongan." Dan karenanya kita tiba pada "kesimpulan yang kurang mengenakkan bahwa berkonsentrasi pada sensasi-sensasi pernafasanmu dan tubuhmu adalah kontemplasi yang sangat bagus dalam artian kata yang kaku" (ibid., 29-30),2 Di karya-karyanya yang terakhir, dia [ie. Romo de Mello] berbicara mengenai "kebangunan," pencerahan interior atau pengetahuan: "Bagaimana untuk bangun? Bagaimana kita akan tahu kalau kita tidur? Para mistik, ketika mereka melihat apa yang mengelilingi mereka, menemukan sebuah kegembiraan ekstra yang mengalir dalam hati tiap hal-hal. Dengan satu suara mereka berbicara mengenai kegembiraan dan cinta mengalir dari mana-mana... Bagaimana mendapatkannya? Melalui pemahaman. Dengan terbebaskan dari ilusi-ilusi dan gagasan-gagasan salah" (Walking on Water, 77-78; cf. Call To Love, 97). [Bagi Romo de Mello] pencerahan interior adalah wahyu yang sejati, lebih penting dari yang datang pada kita melalui Kitab Suci: "Seorang Guru menjanjikan seorang pelajar sebuah wahyu yang punya konsekuensi lebih besar dari apapun yang terdapat di kitab suci... Ketika kau mempunyai pengethuan kau menggunakan obor untuk menunjukkan jalan. Ketika kau tercerahkan kau menjadi sebuah obor" (The Prayer of the Frog I, 86-87).

"Kekudusan bukanlah suatu pencapaian, kekudusan adalah suatu rahmat. Sebuah rahmat yang disebut Kesadaran, sebuah rahmat yang disebut pencarian, pemantauan, pemahaman. Jika saja kau menyalakan lampu kesadaran dan memantau dirimu sendiri dan semua disekelilingmu sepanjang hari, jika kau melihat dirimu sendiri terpantulkan dalam kaca kesadaran seperti kau melihat wajahmu terpantulkan dalam kaca cermin... dan jika kau memantau refleksi ini tanpa penghakiman atau pengutukan, kau akan mengalami banyak sekali perubahan-perubahan yang mengagumkan pada dirimu" (Call To Love, 96).

Dalam tulisan-tulisan terakhir-terakhir ini, Romo de Mello telah secara sedikit demi sedikit tiba pada konsep akan Allah, wahyu, Kristus dan tujuan akhir dari pribadi manusia, etc., yang tidak bisa direkonsiliasikan dengan ajaran Gereja. Karena banyak dari bukunya tidak berbentuk pengajaran, tapi adalah suatu kumpulan cerita-cerita singkat yang kadang-kadang cukup pandai, gagasan-gagasan yang mendasarinya bisa terlewatkan tanpa sepengetahuan dengan mudah. Ini membuat perlu untuk memperhatikan beberapa aspek dari pemikirannya yang, dalam bentuk-betuk yang berbeda, muncul dalam karyanya kalau dipandang secara keseluruhan. Kami [ie. pihak Kongregasi Ajaran Iman] akan menggunakan teks dari pengarang sendiri [ie. Romo de Melo] yang, dengan fitur-fitur tertentunya, jelas-jelas menunjukkan pemikiran yang mendasarinya tersebut.

Dalam berbagai kesempatan, Romo de Mello membuat pernyataan tentang Allah yang mengabaikan sifat personalNya, bahkan mengingkarinya secara eksplisit, dan mereduksi Allah kepada suatu realitas kosmis yang tidak jelas dan serba ada. Menurut si pengarang, tidak ada seorangpun yang bisa membantu kita untuk menemukan Allah seperti seseorang tidak dapat membantu seekor ikan dilaut untuk menemukan samudra (cf. One Minute Wisdom, 67; Awareness, 103). Begitu juga, Allah dan kita masing-masing tidaklah satu ataupun dua, seperti bagaimana matahari dan cahayanya, samudra dan ombak, juga bukanlah satu atau dua (cf. One Minute Wisdom, 34). Dengan kejelasan yang lebih besar masalah Ilah yang personal dihadirkan dalam istilah sebagai berikut: "Dag Hammarskj�ld, mantan Sekretaris-umum PBB, mengucapkan secara indah: 'Allah tidak mati ketika kita berhenti meyakini sebuah ilah yang personal...'" (Awareness, 126; gagasan yang sama juga ditemukan dalam "La iluminaci�n es la espiritualidad," 60). "Jika Allah adalah cinta, maka jarak antara Allah dan dirimu adalah sama dengan jarak antara dirimu dan kesadaran akan dirimu sendiri ?" (One Minute Nonsense, 266).

Berlanjut dari sebuah apophatisisme yang unilateral dan dibesar-besarkan yang merupakan konsekuensi dari konsep Allah seperti yang disebut diatas, kritikan dan ironisme ditujukan [oleh Romo de Mello] kepada upaya apapun akan bahasa [mengenai] Allah. Hubungan antara Allah dan ciptaannya sering diekspresikan dalam gambaran Hindu akan penari dan tariannya: "Aku melihat Yesus Kristus dan Yudas, aku melihat korban dan penganiaya, pembunuh dan yang tersalib: satu melodi dalam not-not [lagu] yang berlawanan... satu tarian bergerak melalui berbagai langkah... Akhirnya, aku berdiri dihadapan Tuhan. Aku melihatnya sebagai sang Penari dan semua kegilaan, ketidakmasukakalan, kegembiraan, kesakitan, hal-hal mengagumkan yang kita sebut hidup ini sebagai tariannya..." (Wellsprings: A Book of Spiritual Exercises, 200-201; The Song of the Bird, 16).

Siapa atau apa Allah itu dan apakah manusia itu dalam 'tarian' ini? Dan lagi: "Bila kau ingin melihat Allah, lihatlah secara perhatian kepada ciptaan. Jangan menolaknya; jangan merefleksikannya. Hanya lihatlah" (The Song of the Bird, 27). Tidaklah jelas bagaimana pengantaraan Kristus bagi pengetahuan akan sang Bapa dimasukkan dalam deskripsi tersebut [oleh Romo de Mello]. "Menyadari bahwa Allah tidak berhubungan dengan gagasan yang aku bentuk mengenai Allah... Hanya ada satu cara untuk mengenalnya: dengan tidak mengenalnya!" (Walking on Water, 12; cf. ibid., 13-14; Awareness, 123; The Prayer of the Frog I, 268). Oleh karena itu [menurut Romo de Mello], seseorang tidak dapat berkata apapun mengenai Allah: "Atheis membuat kesalahan dengan mengingkari apa yang tidak bisa dikatakan... dan para theist [ie. orang yang percaya akan adanya Allah] membuat kesalahan dengan meneguhkan [hal-hal yang berkenaan dengan Allah]" (One Minute Nonsense, 21; cf. ibid., 336).

Tidak juga kitab suci, termasuk Alkitab, memampukan kita untuk mengetahui Allah [menurut Romo de Mello]; kitab suci-kitab suci tersebut hanyalah rambu-rambu jalan yang tidak mengatakan apapun berkenaan dengan kota yang aku tuju: "... Aku datang pada sebuah rambu yang berkata 'Bombay.' ... Tanda itu bukan Bombay! Rambu itu bahkan tidak terlihat seperti Bombay. Rambu itu bukan gambar akan Bombay. Rambu itu adalah sebuah rambu. Itulah apa itu kitab suci, sebuah rambu" (Walking on Water, 13). Melanjutkan metafora ini, seseorang dapat berkata bahwa sebuah rambu jalan menjadi tidak berguna ketika aku sudah mencapai tujuanku; inilah apa yang kelihatannya ingin dikatakan Romo de Mello: "Kitab suci adalah bagian yang menakjubkan, jari yang menunjuk kepada cahaya. Kita menggunakan kata-kata [dalam kitab suci] untuk pergi melampaui konsepsi-konsepsi dan mencapai keheningan" (Walking on Water, 16). Secara paradoks [Romo de Mello mengatakan bahwa] wahyu Allah tidak diekspresikan dalam kata-kataNya, tapi dalam keheningan (cf. juga One Minute Wisdom , 118, 157, 191, etc. Awareness, 101). "Di Alkitab hanya jalan yang ditunjukkan kepada kita, begitu juga dalam kitab suci-kitab suci moslem, umat Budha, etc." ("La iluminaci�n es la espiritualidad," 64).

Sehingga, apa yang dinyatakan [dalam tulisan-tulisan Romo de Mello tersebut] adalah sebuah Allah yang tidak berpribadi [ie. impersonal] yang berdiri diatas semua agama, sementara keberatan dinyatakan [dalam tulisan Romo de Mello] akan proklamasi agama Kristen bahwa Alah adalah kasih, [yang tampaknya] tidak sesuai dengan keyakinan akan perlunya Gereja untuk keselamatan:

"Kawanku dan aku pergi ke sebuah pasar malam. PEKAN RAYA DUNIA AKAN AGAMA-AGAMA [ie. dalam terjemahan Indonesia buku Romo de Mello disebut "PASAR MALAM AGAMA-AGAMA"]... Pada stan Yahudi kita diberi selebaran yang mengatakan bahwa Allah itu penuh perhatian dan para Yahudi adalah Orang TerpilihNya. Para Yahudi. Tidak ada orang yang lebih Terpilih daripada orang Yahudi. Di stan Moslem kita mendapati bahwa Allah itu Maha-Rahim dan Mohammad adalah satu-satunya Nabi. Keselamatan datang dari mendengarkan satu-satunya nabi Allah. Di stan Kristen kami menemukan bahwa Allah adalah kasih dan tidak ada keselamatan diluar Gereja. Bergabunglah dengan Gereja atau ber-resiko [menerima] pengutukan abadi. Dalam perjalanan keluar aku bertanya kepada temanku, 'Apa yang kau pikir akan Allah?' dia menjawab, 'Dia adalah orang yang benci yang lain selain kaumnya, fanatik dan kejam.' Kembalinya dari rumah, aku berkata kepada Allah, 'Bagaimana kau tahan akan semua hal ini, Tuhan? Tidakkah kau tahu bahwa mereka memperburuk namaMu selama berabad-abad?' Allah berkata, 'Aku bahkan tidak mengorganisir Pasar Malam itu. Aku bahkan akan terlalu malu untuk mengunjunginya' ("Pekan Raya Dunia akan Agama-Agama" dalam The Song of the Bird, 186-187; cf. ibid., 189-190, 195).

Ajaran Gereja mengenai kehendak keselamatan Allah yang universal dan akan keselamatan non-Kristen tidak dihadirkan secara tepat, tidak juga pesan akan Allah adalah kasih:"'Allah adalah kasih. Dan Dia mencinta dan menghadiahi kita selamanya kalau kita mematuhi perintah-perintahnya.' 'KALAU?' kata sang Guru, 'Kalau begitu kabarnya tidak sebaik yang dikatakan, bukankah begitu?'" (One Minute Nonsense, 198; cf. ibid., 206). Setiap agama konkrit adalah sebuah penghalang untuk tiba pada kebenaran. Terlebih, apa yang dikatakan mengenai Kitab Suci juga dikatakan mengenai agama secara umum: "Semua fanatik ingin mendekap Allah mereka dan membuatnya satu-satunya" ("La iluminaci�n es la espiritualidad," 65; cf. ibid., 28, 30). Apa yang penting itu adalah kebenaran, apakah itu berasal dari Budha atau dari Mohammad, karena "yang paling penting adalah untuk menemukan kebenaran dimana semua kebenaran berpadu, karena kebenaran itu adalah satu" (ibid., 65). "Kebanyakan orang, sayangnya, punya cukup agama untuk membenci tapi tidak untuk mencinta (The Prayer of the Frog I, 104; cf. ibid., 33, 94). Ketika penghalang-penghalang yang mencegah kita untuk melihat realitas didaftar, agama berada di urutan pertama: "Pertama [adalah] keyakinanmu. Jika engkau mengalami hidup sebagai seorang komunis, atau seorang kapitalis, sebagai seorang Moslem atau seorang Yahudi, kau mengalami hidup dalam sebuah cara yang berprasangka dan miring; ada sebuah penghalang, sebuah lapisan lemak diantara Realitas dan dirimu karena kau tidak lagi melihat dan menyentuhnya secara langsung" (Call to Love, 30-31). "Jika semua manusia diberikan sebuah hati seperti itu orang tidak akan lagi memikirkan diri mereka sebagai seorang Komunis atau Kapitalis, sebagai seorang Kristen atau Moslem atau Budha. Keterangan pemikiran mereka akan menunjukkan kepada mereka bahwa semua pemikiran, semua konsep, semua keyakinan adalah lampu-lampu yang penuh kegelapan, tanda-tanda dari ketidaktahuan-acuh mereka" (ibid., 94; cf. juga One Minute Wisdom, 159, 217, mengenai bahaya-bahaya dari agama-agama). Apa yang diyakini mengenai agama [oleh tulisan Romo de Mello], juga dikatakan secara konkrit atas Kitab Suci (cf. The Song of the Bird, 186ff; One Minute Nonsense, 19).

Keperanakan Ilahi Yesus didilusikan [dalam tulisan Romo de Mello] kedalam kepercayan akan keperanakan ilahi atas semua manusia: "Dimana Allah menjawab, 'sebuah hari raya kudus itu kudus karena itu menunjukkan bahwa semua hari dalam satu tahun itu adalah kudus. Dan sebuah tempat kudus itu kudus karena itu menunjukkan bahwa semua tempat telah dikuduskan. Karenanya Kristus dilahirkan untuk menunjukkan bahwa semua manusia adalah putra-putri Allah'" (The Song of the Bird, 189). Romo de Mello memang menunjukkan perwujudan dukungan pribadinya kepada Kristus, kepada siapa dia menyebut diri sebagai murid (Wellsprings, 122), kepada siapa dia beriman (ibid., 113) dan kepada siapa dia berjumpa secara pribadi (ibid., 115ff, 124ff). KehadiranNya [ie. Yesus] men-tranfigurasi-kan (cf. ibid., 92ff). Tapi pernyataan-pernyataan lain [Romo de Mello mengenai Yesus] ada yang kurang mengenakkan. Yesus disebut sebagai salah satu guru diantara banyak [guru lainnya]: "Lao Tzu dan Socrates, Budha dan Yesus, Zarathustra dan Mohammad (One Minute Wisdom, 2). [Menurut Romo de Mello] Yesus pada salib tampak sebagai seorang yang telah membebaskan dirinya secara sempurna dari segalanya:

"Aku melihat sang Tersalib sebagai [yang] tertanggalkan atas semuanya: Tertanggalkan dari kehormatannya... Tertanggalkan dari reputasinya... Tertanggalkan dari dukungan... Tertanggalkan dari Allahnya... Ketika aku memandang pada tubuh tak bernyawa itu aku lambat-lambat mengerti bahwa aku melihat simbol pembebasan tertinggi dan total. Ketika dikencangkan di kayu salib Yesus menjadi hidup dan bebas... Jadi sekarang aku mengkontemplasikan keagungan seorang manusia yang telah membebaskan dirinya sendiri dari semua yang membuat kita sebagai budak-budak, semua yang menghancurkan kebahagiaan kita." (Wellsprings, 95-97).

Yesus di salib adalah seorang manusia yang bebas dari semua ikatan; karenanya Dia menjadi simbol dari pembebasan interior dari semua yang membuat kita terikat. Tapi bukankah Yesus adalah sesuatu yang lebih dari seorang manusia yang bebas? Apakah Yesus adalah penyelamatku atau Dia sekedar mengarahkan aku kepada sebuah realitas misterius yang telah menyelamatkannya? "'Apakah aku akan berhubungan, Tuhan, dengan sumber darimana sabdamu dan kebijaksanaanmu mengalir?... Apakah aku akan menemukan sumber dari keberanianmu?'" (Wellsprings, 123). "'Hal yang paling indah mengenai Yesus adalah Dia begitu nyaman dengan pendosa, karena Dia mengerti bahwa Dia tidaklah lebih baik sedikitpun dari mereka'... Satu-satunya perbedaan antara Yesus dan yang lain itu [ie. para pendosa] adalah bahwa Dia terbangun sementara mereka tidak" (Awareness, 30-31; cf. juga "La iluminaci�n es la espiritualidad," 30, 62). [Bagi Romo de Mello] kehadiran Kristus dalam Ekaristi hanyalah sekedar simbol yang mengacu kepada realitas yang lebih dalam: [yaitu] kehadiranNya dalam ciptaan. "seluruh ciptaan adalah tubuh Kristus, dan kau meyakini bahwa itu hanya ada di ekaristi. Ekaristi mengindikasikan pada ciptaan. Tubuh Kristus itu dimana-mana namun kau hanya mengetahuinya dalam simbolnya yang [hanya] mengindikasikan apa yang esensial, yaitu kehidupan" ("La iluminaci�n es la espiritualidad," 61).

[Menurut Romo de Mello] keberadaan manusia tampaknya menuju untuk dilarutkan [dari kata "dissolve"], seperti garam pada air: "Sebelum bagian terakhir itu larut, boneka [garam] itu menyatakan dalam kekaguman, 'sekarang aku tahu siapa aku ini'" (The Song of the Bird, 125). Pada saat lainnya, pertanyaan mengenai kehidupan sesudah kematian dinyatakan tidak penting [dalam tulisan Romo de Mello]: "'Tapi apakah ada kehidupan setelah kematian atau tidak?' kata sang Guru penuh teka-teki" (One Minute Wisdom, 83; cf. ibid., 26).

"Salah satu tanda bahwa kau terbangun adalah kau tidak mempedulikan mengenai apa yang terjadi di kehidupan selanjutnya. Kau tidak terganggu oleh itu; kau tidak peduli. Kau tidak tertarik, titik"(Awareness, 42-43, 150). Mungkin dengan kejelasan yang lebih [akan pemikiran Romo de Mello yang mengajarkan ketidak pentingan kehidupan setelah mati]: "Kenapa bingung dengan besok? Apakah ada kehidupan setelah mati? Apakah aku akan hidup setelah mati? Mengapa bingung dengan besok? [Alamilah] hari ini" (Awareness, 114). "Gagasan bahwa orang mempunyai keabadian adalah bodoh. Mereka berpikir bahwa itu akan berakhir selamanya karena hal itu berada diluar waktu. Kehidupan abadi adalah sekarang; [kehidupan abadi] sudah disini" ("La iluminaci�n es la espiritualidad," 42).

Pada berbagai pokok dalam bukunya, pendirian Gereja dikritik tanpa penilaian yang adil: "Kehidupan religiusku telah diambil alih dengan penuh oleh para profesional" (The Song of the Bird, 63ff). Fungsi dari Syahadat atau Pernyataan Iman di hakimi [oleh romo de Mello] secara negatif, sebagai sesuatu yang mencegah akses pribadi kepada kebenaran dan pencerahan (seperti itu dengan nuansa yang berbeda, The Song of the Bird, 36, 46-47, 50ff, 215). "Ketika kau tidak perlu lagi memegang kata-kata di Alkitab, pada saat itulah [Alkitab] menjadi sesuatu yang sangat indah bagimu, menyingkapkan hidup dan pesannya. Sedihnya, Gereja resmi telah mendedikasikan dirinya untuk membingkai sang berhala, menyampulnya, membelanya, menegakkannya tanpa mampu mengerti apa sesungguhnya maknanya" ("La iluminaci�n es la espiritualidad," 66). Gagasan yang sama dihadirkan dalam The Prayer of the Frog I, 7, 94, 95, 98-99: "Seorang pendosa publik diekskomunikasikan dan dilarang masuk gereja. Dia menyampaikan keluhannya kepada Allah. 'Mereka tidak mengijinkan aku masuk, tuhan, karena aku adalah pendosa.' 'Apa yang kau keluhkan?' kata Allah. 'Mereka juga tidak mengijinkan aku masuk'" (ibid., 105).

[Menurut Romo de Mello] kejahatan itu adalah ketidaktahuan-acuh, kurangnya pencerahan: "Ketika Yesus melihat kejahatan Dia memanggilnya sesuai namanya dan mengutuknya tanpa keraguan. Hanya saja, dimana aku melihat niat jahat, aku melihat ketidaktahuan-acuh... 'Bapa ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan'" [Lk 23:34] (Wellsprings, 215). Tentu saja teks-teks ini tidak mencerminkan seluruh ajaran Yesus mengenai kejahatan dunia dan akan dosa; Yesus menyambut pendosa dengan kerahiman yang besar, tapi Dia tidak mengingkari dosa mereka; namun Dia mengajak mereka kepada pertobatan. dalam bagian lain tulisan [Romo de Mello] kita menemukan pernyataan-pernyataan yang lebih radikal: "Tidak ada yang baik atau buruk tapi memikirkannya [sebagai baik dan buruk] membuatnya demikian" (One Minute Wisdom, 104). "Sebenarnya tidak ada kebaikan atau kejahatan dalam sifat manusia. Yang ada hanyalah sebuah penilaian mental yang dikenakan kepada realitas ini atau itu" (Walking on Water, 99). [Romo de Mello mengajukan] bahwa tidak ada alasan untuk bertobat dari dosa-dosa, karena satu-satunya hal yang penting adalah untuk terbangun kepada satu kesadaran akan realitas: "Janganlah menangis untuk dosa-dosamu. Kenapa menangis atas dosa-dosa yang kau lakukan ketika kau tidur?" (Awareness, 26; cf. ibid., 43, 150). Penyebab dari kejahatan adalah ketidaktahuan-acuh (One Minute Nonsense, 239). Dosa itu ada, tapi merupakan sebuah tindakan kegilaan ("La iluminaci�n es la espiritualidad," 63). Pertobatan, karenanya, berarti kembali kepada realitas (cf. ibid., 48). "Pertobatan adalah perubahan pikiran: sebuah visi realitas yang berbeda secara radikal" (One Minute Nonsense, 241).

Jelas, bahwa ada hubungan internal antara berbagai posisi yang berbeda [seperti yang terlihat dari kutipan tulisan Romo de Mello diatas]: jika seseorang mempertanyakan keberadaan satu Allah yang berpribadi [ie. personal], tidaklah masuk akal [bagi orang tesebut untuk berpikiran bahwa] Allah akan menyatakan diriNya dalam sabdaNya. Kitab Suci, karenanya, tidak mempunyai nilai yang definitif. Yesus adalah seorang guru seperti yang lain; hanya pada buku-buku awal penulis [ie. Romo de Mello] Yesus tampak sebagai Putra Allah, sebuah pengakuan yang punya sedikit makna dalam konteks pengertian seperti itu akan Allah [ie. pengertian akan Allah seperti yang telah dipertunjukkan Romo de Mello]. Sebagai konsekuensinya seseorang tidak bisa mengatributkan nilai kepada ajaran Gereja. Keberlangsungan hidup kita pribadi setelah kematian merupakan sesuatu yang problematik kalau Allah tidak berpribadi [seperti yang diungkapkan Romo de Mello]. Karenanya sudah menjadi jelas bahwa konsepsi yang demikian tentang Allah, Kristus dan manusia tidaklah seuai dengan iman Kristen.

Karena alasan ini, mereka yang bertanggungjawab untuk menjaga ajaran iman telah diwajibkan untuk menunjukkan bahaya dari teks-teks yang ditulis oleh Romo Anthony de Mello atau [teks-teks] yang ditartibutkan atas dia, dan untuk memperingatkan umat beriman mengenainya.




Catatan:
1 Tidak semua karya-karya Romo de Mello diotorisasikan untuk dipublikasikan oleh sang pengarang sendiri. Beberapa dipublikasikan setelah kematiannya berdasarkan pada tulisan-tulisannya, atau pada catatan-catatan atau pada rekaman-rekaman konferensinya. Dalam Catatan Penjelasan ini tulisan-tulisannya yang dikutip [berasal dari]: Sadhana: A Way to God (St. Louis, USA: The Institute of Jesuit Sources, 1978); The Song of the Bird (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1982); Wellsprings: A Book of Spiritual Exercises (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1984); One Minute Wisdom (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1985); "La iluminaci�n es la espiritualidad: Curso completo de autoliberaci�n interior" in Vida Nueva (1987) pp. 27/1583 - 66/1622; The Prayer of the Frog, 2 vols. (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1989); Awareness (London: Fount Paperbacks, 1990); Contact with God: Retreat Conferences (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1990); Call to Love: Meditations (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1991); Caminhar sobre as �guas: Quebre o �dolo (S�o Paulo, Brazil: Edi��es Loyola, 1992), engl. trans. Walking on Water (New York: Crossroad, 1998); One Minute Nonsense (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1992).

2 Surat dari Kongregasi Ajaran Iman mengenai beberapa aspek dari Christianmeditation Orationis formas (15 Oktober 1989) tampaknya mereferensikan gagasan-gagasan seperti itu: "Namun beberapa tidak ragu untuk menempatkan yang absolut itu [sebagai sesuatu yang] tanpa gambaran atau konsep-konsep, [dimana penempatan ini] lebih cocok dengan teori umat Budha, pada tingkatan yang sama dengan keagungan Allah yang diwahyukan Kristus, yang memuncaki diatas realitas terbatas" (n. 12: AAS 82 [1990], 369). Dalam hal ini, adalah perlu untuk mengingat ajaran-ajaran mengenai inkulturasi dan dialog antar-agama dalam ensiklik Yahanes Paulus II Redemptoris missio (cf. nn. 52-57: AAS 83 [1991], 299-305).

Layanan Informasi Vatikan, 22 Agustus 1998

Recent Post