Latest News

Friday, January 30, 2015

Pemahaman dan Penghayatan Misa Latin Tradisional Extra-Ordinaria Rubrik 1962


APA YANG PAUS KITA INGINKAN:
Paus Benediktus XVI menghendaki agar setiap paroki Gereja Katolik di seluruh dunia merayakan Misa Latin Tradisional secara teratur.

Paus Benediktus XVI berkata "bahwa sangat penting bagi generasi muda Gereja untuk mengetahui masa lalu Gereja mereka."
~ Vatikan, Kardinal Dario Castrillon Hoyos

TLM Ganjuran 25 Januari 2015
Seperti kata-kata dari Mazmur 42/43 yang diucapkan Imam di awal Misa tersebut: "Introibo ad Altare Dei, ad Deum qui laetificiat juventutem meam." - "aku hendak naik ke altar Tuhan: ke hadapan Allah, yang menggirangkan masa mudaku."

"Jika ada sesuatu yang ilahi dari antara milik kepunyaan manusia yang dapat merangsang rasa iri hati warga surgawi (mereka bisa seperti terombang-ambingkan oleh suatu gairah), maka tak diragukan lagi itu adalah Kurban Misa Ekaristi Maha Kudus, dalam keinginan siapapun pengalaman, dan ke dalam genggaman tangan mereka, sang Pencipta langit dan bumi, di hadapan mata mereka, suatu situasi persiapan tertentu di Surga, sementara masih di bumi."
~ Pope Urban VII, 1634

Apa itu Misa Tridentine?
Misa Tridentine mengambil nama dari Konsili Trente (1545-1563) yang memuat sedikit penyesuaian dari ritus Roma. Namun demikian, secara garis besar, Misa Tridentine tidaklah memasukkan praktek baru yang berbeda dengan tradisi penyembahan yang telah berlangsung secara organik di Roma dan negara-negara Eropa sejak tahun 300-an. Maka Ritus Tridentine lebih tepat disebut sebagai ritus Tradisional Roma. Liturgi Tridentina,, berdasarkan Bulla Quo Primum oleh Paus Pius V,  terangkum dalam edisi Missale Romanum tahun 1570-1962. (Jawaban dikutip dari katolisitas.org)

Mengapa Misa diucapkan dalam bahasa Latin?
Iman katolik yang begitu indah diekspresikan dalam Misa Kudus, disebarkan oleh para rasul dan misionaris Kristen perdana di seluruh kekaisaran Roma. Bahasa kekaisaran roma yang umum adalah bahasa latin, namun di timur, bahasa Yunani adalah bahasa vernakular (sehari-hari). Karenanya dalam ritus Roma, sementara bahasa Yunani dan Latin digunakan sebagai bahasa liturgis, sementara beberapa penggunaan bahasa Yunani dipelihara.

Menjadi ajaran yang konsisten dari banyak paus, terlebih, bahwa bahasa Latin memiliki kualitas spesial sebagai bahasa penyembahan dalam ritus Roma, [bahasa latin] memberikan kita identitas umum dengan nenek moyang kita dalam Iman.

Bahasa Latin adalah simbol universalitas yang tampak dan kesatuan Gereja yang membantu memelihara ikatan kesatuan dengan pusat umum kita, Roma, "Ibu dan Guru segala bangsa."

Untuk apa merayakan misa dalam bahasa asing?
Sebagai umat Katolik, Latin adalah bahasa Gereja. Latin tidak asing bagi Gereja dan perayaan liturgi-nya. Saat ini, perhatian lebih perlu diberikan kepada instruksi dalam bahasa Latin untuk kaum awam, agamawan dan imam.

Mengapa penggunaan bahasa Latin dalam liturgi menjadi penting dalam abad kedua puluh satu?
Dengan meningkatnya globalisasi saat ini, penggunaan bahasa Latin sebagai bahasa liturgi kian penting terutama di kota-kota besar dimana paroki menjadi lebih besar dan lebih multikultural. Bahasa Latin berfungsi sebagai ikatan untuk ibadah/ penyembahan Katolik, menyatukan orang-orang dari setiap bangsa dalam perayaan Liturgi Suci, yang memungkinkan mereka untuk menyanyi dan merespon dalam ibadah umum.

Bagaimana Latin menjadi bahasa resmi Gereja?
Pada zaman kuno, Latin adalah bahasa umum hukum dan bisnis, seperti bahasa Inggris yang digunakan masa kini. Pada abad ke-5, karena Kekaisaran Romawi runtuh, Gereja muncul sebagai kekuatan budaya penyeimbang, mempertahankan penggunaan bahasa Latin sebagai sarana untuk persatuan. Bahasa Latin, sebagai bahasa mati di masa kini, bukanlah milik suatu negara. Karena Gereja adalah "untuk semua bangsa, suku dan bangsa," (Wahyu 11:9) maka sangatlah tepat bahwa Gereja menggunakan bahasa Latin sebagai bahasa resminya.

TLM Ganjuran 25 Januari 2015
Sebagian besar umat yang menghadiri Misa Latin Tradisional saat ini tidak lahir dari masa itu (pra Konsili ed.), jadi mengapa begitu banyak umat Katolik memilih untuk menghadirinya?
Kemegahan dan kekhidmatan dari Misa Latin Tradisional (salah satu sebutan Misa Tridentina) menarik bagi sejumlah umat Katolik dewasa ini, terutama kaum muda. Pengalaman inderawi yang kaya saat menghadiri Misa dengan istilah Forma Ekstra-Ordinaria ini (sebutan resmi Misa Tridentina sejak Summorum Pontificum, ed.) dan penuh dengan perbendaharaan musik sakral dan nilai seni tinggi, mengingatkan semua bahwa Liturgi Suci adalah pendahuluan dari Liturgi Surgawi kita yang akan dirayakan di Yerusalem Baru pada akhir jaman.

Gregorian Chant (Kidung Gregorian) merupakan bagian integral dari Misa Forma Ekstra-Ordinaria. Ini adalah puisi "yang bernyanyi di bumi [tentang] misteri surga dan mempersiapkan kita untuk kidung keabadian" (Dom Prosper Louis Pascal Gueranger). Jadi, ketika umat beriman berpartisipasi dalam nyanyian Misa Kudus, hati mereka diangkat ke hadirat surga, karena mereka bernyanyi bersama dengan paduan suara para malaikat.

Penghormatan yang khidmat dalam Misa Tradisional ini menumbuhkan keheningan batin yang mendalam yang memungkinkan banyak orang Katolik mengalami partisipasi liturgi yang mendalam secara spiritual. Kekhidmatan dan rubrik yang ketat di masa Forma Ekstra-Ordinaria ini memberikan suasana kondusif untuk perjumpaan dengan Kristus, yang menjadi Imam sekaligus Kurban Misa.

TLM Ganjuran 25 Januari 2015
Sebagai pendatang baru di Misa Forma Ekstra-Ordinaria, bagaimana aku bisa memahami teks-teks Latin?
Karena Misa Romawi dalam Forma Ekstra-Ordinaria selalu dirayakan dalam bahasa Latin, maka sangatlah berguna untuk memiliki terjemahan teks Misa untuk membantu umat untuk berpartisipasi. Jadi, supaya umat bisa dengan baik mengikuti misa ini, banyak paroki menyediakan booklet misa (TPE Tata Perayaan Ekaristi, atau Ordo Missae) yang menyediakan teks Latin berdampingan dengan terjemahan vernakular (bahasa sehari-hari), dan panduan untuk tata gerak yang harus diikuti selama misa (yakni kapan harus duduk, berdiri, dan berlutut).

Booklet bagi umat ini menyediakan teks bagian misa yang tetap (Ordinarium) dan mungkin juga bagian Proper / Proprium (bagian misa yang berubah sesuai kalender liturginya, ed.). Beberapa paroki mungkin menyediakan tambahan teks musik suci (yaitu Kidung Gregorian, berbagai respon dan himne untuk perayaan liturgis tertentu).

Apakah semua kata bagian Misa Latin Tradisional diucapkan dalam bahasa Latin ataukah sebagian saja?
Setiap bagian dari misa Forma Ekstra-Ordinaria diucapkan dalam bahasa Latin (kecuali Kyrie Eleison, bahasa Yunani). Pada hari Minggu dan pada hari raya tertentu Surat dan pembacaan Injil akan dibacakan atau diulangi dalam bahasa lokal (setelah sebelumnya dibacakan dalam Latin), tetapi kata pertama selalu diucapkan dalam bahasa Latin. Homili diberikan oleh imam atau diakon dalam bahasa lokal. Doa Leonin (setelah misa) juga umumnya diucapkan bahasa sehari-hari.

TLM Bandung 29 Agustus 2010
Bagaimana umat bisa memahami iman Katolik jika Misa diucapkan dalam bahasa Latin?
Konsili Trente, sangat membutuhkan imam untuk menjelaskan misteri dan upacara misa untuk anak-anak di sekolah, dan orang dewasa pada saat homili. Tapi sebenarnya, umat tidak terlalu perlu untuk memahami setiap detail dari misa. "Jika," kata St. Augustine, "Ada sebagian umat yang tidak mengerti tentang apa yang diucapkan atau dinyanyikan, tapi paling tidak mereka tau bahwa semua yang diucapkan dan dinyanyikan itu adalah untuk kemuliaan Allah, dan cukuplah bagi mereka untuk bergabung di dalamnya dengan taat." Ingat bahwa Kurban Misa Kudus adalah yang terbesar dari semua misteri.

Karena bahasa-bahasa dari negara yang berbeda berubah setiap tahun, mengapa Gereja menggunakan bahasa Latin, yang adalah bahasa mati?
Karena bahasa-bahasa modern berkembang, makna dari kata-kata juga berkembang perlahan-lahan. Contohnya, walaupun Misa dengan bahasa vernakular (bahasa lokal) berasal dari tahun 1970, terjemahan yang baru sedang dipersiapkan, di antaranya muncul ketidaksetujuan dalam mencari terjemahan yang tepat.

Bahasa Latin, sebaliknya, sebagai bahasa mati, tidak berubah dan memberikan standar yang baku kepada semua terjemahan yang dirujuk. Bahasa Latin sangat membantu dalam mempertahankan kesatuan penyembahan dan doa. Bahasa Latin mempertahankan makna misa yang ortodoks dan tidak berubah; sehingga terhindar dari bahaya penafsiran ulang yang mungkin terjadi dalam setiap perayaan di suatu daerah lokal tertentu.

TLM Bandung 29 Agustus 2010
Mengapa imam tidak menghadap umat pada Misa Latin Tradisional?
Imam mempersembahkan misa menghadap ke arah yang sama seperti umat, karena ia dan umat bersama-sama menyembah dan mempersembahkan Kurban kepada Allah. Ia tidak membelakangi umat untuk melupakan mereka. Terlebih, kita sebagai umat Kristen, semua menghadap ad Orientem (menghadap ke Timur) menunggu dengan pengharapan dan penuh suka cita akan kedatangan Tuhan Kita Yesus Kristus yang akan kembali untuk menghakimi yang hidup dan yang mati dan dunia dengan api (Ritus Baptisan, 1962)

Posisi altar yang ditentukan pada masa Gereja Perdana adalah menghadap ke timur. Kutipan dari St. Agustinus : "Ketika kita bangkit untuk berdoa, kita menghadap ke timur, dimana surga dimulai. Dan kita melakukan ini bukan karena Allah berada di sana, seolah-olah Ia bergerak menjauh dari arah bumi yang lain... tapi karena untuk membantu kita mengingat dan mengarahkan pikiran kita kepada keteraturan yang lebih tinggi, yaitu, kepada Allah."

Kutipan ini menunjukkan bahwa umat Kristen pada masa itu, setelah mendengarkan homili, akan berdiri untuk berdoa, dan menghadap ke timur. St. Agustinus selalu berbicara tentang berbalik ke timur dalam doa di akhir homili, menggunakan rumusan, Conversi ad Dominium ("menghadap wajah Tuhan")

Mengapa imam tidak menghadap umat dalam Misa Forma Ekstra-Ordinaria?
Karena ia mempersembahkan misa atas nama Kristus dan dalam Pribadi-Nya, In Persona Christi, kepada Allah Bapa dan menuntun umatnya dalam adorasi dan penyembahan.

Imam menghadap ke timur, ke arah matahari terbit, yang adalah simbol "Yerusalem Baru" dan dia memimpin umatnya sebagai Gembala yang baik. Ketika sampai pada saat untuk memanggil umat, imam berbalik menghadap umat dan berkata "Dominus Vobiscum" ("Tuhan besertamu") atau Orate frates" ("Berdoalah, saudara-saudara").

TLM Bandung 29 Agustus 2010
Apakah hal ini berarti umat tidak ikut berpartisipasi secara aktif dalam Ritus Misa?
Umat Katolik harus memiliki partisipasi yang jujur, bersemangat, dan bersifat interior (dalam hati) pada misa, mengangkat pikiran dan hati mereka kepada Allah, menyatukan diri mereka dengan imam yang mempersembahkan Korban Ilahi di altar dan mempersembahkan diri mereka dalam persatuan dengan-Nya. Mengikuti doa-doa dan berbagai postur tubuh dalam TPE Latin-Indonesia sangat membantu untuk memahami dan menghargai keindahan Misa Forma Ekstra-Ordinaria.

Bernyanyi saat misa, membuat tanda salib, berlutut dan bentuk partisipasi gerakan fisik lainnya penting dalam penyembahan kita; karena Allah memberikan kita tubuh, yang diciptakan dalam Gambar dan Rupa-Nya, sehingga kita dapat memuja Ia di dalam tubuh kita masing-masing.

Namun partisipasi tertinggi ada dalam bentuk partisipasi spiritual (rohaniah) misa, yang menemukan titik tertingginya dengan penerimaan yang pantas akan Komuni Kudus.

[Konsili] Vatikan II, dalam dekrit mengenai Liturgi Suci, menghendaki pemeliharaan bahasa Latin dalam misa. Kita tidak bisa menyimpulkan bahwa bahasa Latin adalah penghalang untuk partisipasi yang lengkap, sadar dan aktif. Dokumen-dokumen konsili Vatikan II dengan jelas memberikan bukti terhadap fakta ini.

Para Bapa konsili juga tidak mempertimbangkan misa dipersembahkan Ad Orientem (menghadap ke Timur) yang mereka dukung, sebagai suatu hambatan akan partisipasi yang lengkap dan aktif. Bahkan Pedoman Umum Misale Romawi 2003 (Rubrik yang mengatur pelaksanaan misa Forma Ordinaria / Misa Paulus VI, ed.) menunjukkan bahwa imam hanya disyaratkan untuk menghadap umat pada momen yang spesifik di waktu misa dan tidak di sepanjang misa.

Jika dalam perayaan Ekaristi seseorang memiliki Ordo Missae (TPE) Latin-bahasa lokal (yaitu Latin-Indonesia), maka dia dapat dengan mudah mengikuti doa-doa dan bacaan dalam misa Kudus. Kedalaman pada misa mensyaratkan partisipasi spiritual yang melampaui segala bentuk partisipasi eksternal (jasmaniah/fisik).

Mengapa Misa Forma Ekstra-Ordinaria disebut "Ritus Tridentina" atau "Misa Latin Tradisional"?
Misa Forma Ekstra-Ordinaria adalah warisan dari Gereja Barat. Liturgi ini kadang disebut Ritus "Tridentina", karena setelah Konsili Trente pada abad ke 16. Sebetulnya sebutan ini kurang tepat, karena Konsili Trente tidak menciptakan liturgi, melainkan mengkodifikasikan (membakukan) yang sudah ada dalam liturgi kuno. Itulah yang kini kita sebut sekarang sebagai "Misa Latin Tradisional" karena Misa ini dirayakan dalam bahasa resmi Gereja (bahasa Latin).

Selain "Misa Tridentina", apakah ada sebutan yang lainnya?
Kadang Misa Forma Ekstra-Ordinaria ini juga dikenal dengan nama:
  • 'Classical Rite'
  • 'Usus Antiquor'
  • 'Traditional Latin Mass'
  • 'The Mass of the Ages'
  • 'The Latin Mass' 

Bukankah Misa Latin hanyalah Misa biasa yang dirayakan dalam bahasa Latin?
Forma Ordinaria (Missale Paulus VI - 1969) dan Forma Ekstra-Ordinaria (Missale Yohanes XXIII - 1962) memiliki unsur-unsur yang sama, tapi juga memiliki karakteristik yang berbeda.
Contohnya, dalam tiap Forma memiliki kalender liturgi dan siklus bacaannya masing-masing tersendiri. Forma Ordinaria memiliki banyak Doa Syukur Agung namun Forma Ekstra-Ordinaria menggunakan Kanon Romawi secara eksklusif.

Benarkah Misa "Tridentina" dilarang sejak [Konsili] Vatikan II?
Konsili Vatikan II JUSTRU malah mendeklarasikan bahwa dalam hubungannya dengan semua ritus liturgis yang disetujui pada saat itu bahwa Gereja "berkehendak untuk memelihara mereka (yaitu ritus-ritus liturgis) di masa depan dan membantu perkembangannya dalam setiap jalan/cara." (Sacrosanctum Concilium, #4).

Ritus Roma yang baru, diumumkan secara resmi setelah Konsili Vatikan II oleh Paus Paulus VI (yang kita sebut sebagai Forma Ordinaria) dan selama ini kita rayakan secara umum. Tapi Liturgi Latin Kuno (Forma Ekstra-Ordinaria) tetap digunakan, dan dengan sepenuhnya disetujui oleh Bapa Suci. Selama Konsili Vatikan II edisi Misale Romanum tahun 1962 dipublikasikan, inilah yang merupakan Misale Romanum yang masih dipergunakan sampai sekarang untuk perayaan "Misa Tridentina".

TLM Perdana Jogjakarta Kapel Panti Rapih, 12 Februari 2011
Tapi mengapa menghidupkan kembali Forma Extra-Ordinary di abad 21?
Katekismus Gereja Katolik menyatakan bahwa "Misteri Kristus itu kaya tak terbatas, sehingga tidak ada satu liturgi yang dapat menyatakannya secara sempurna dan penuh." (KGK, #1201)
Dalam dunia modern, banyak orang Katolik menemukan manfaat spiritual dan memulihkan kembali hubungan pribadinya dalam misa kuno warisan Gereja ini. Forma Ekstra-Ordinaria membantu meneguhkan iman umat beriman [Katolik] di tengah-tengah budaya nihilisme dunia masa kini (KB, Aborsi, Euthanasia, "Same-Sex Marriage" [pernikahan sejenis], Liberalisme, Kapitalisme, Relativisme moral, dan lain sebagainya).

Liturgi Gereja Roma Kuno muncul dari masa penganiayaan yang intens, dan masa kini, karena umat Kristen lebih-lebih terutama dianiaya karena iman Katolik mereka, membuat mereka tertarik pada Misa lama yang membantu mereka untuk melakukan evangelisasi terhadap dunia yang membalikkan punggungnya dari hadapan Yesus Kristus. Seperti yang dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik dengan singkat dan jelas, "Liturgi sendiri juga mampu menghasilkan dan membentuk kebudayaan" (KGK, #1207)

Kapel RS Panti Rapih ~ Jogjakarta. Sabtu, 12 Februari 2011
Buat apa merayakan misa dalam bahasa Latin?
Sebagai umat Katolik, Latin adalah bahasa Gereja. Latin tidak asing bagi Gereja dan perayaan liturginya. Saat ini, perhatian lebih perlu diberikan kepada instruksi dalam bahasa Latin untuk kaum awam, agama dan pendeta.

Pernah membaca Sacrosanctum Concilium secara keseluruhan? Di Konstitusi Liturgi itu jelas-jelas ditulis bahwa Gregorian tetap merupakan pilihan pertama dan utama dalam Liturgi dan Latin masih tetap merupakan bahasa utama (atau resmi dalam Liturgi).

Bahasa lokal dan jenis musik lain diizinkan tetapi sama sekali tidak meminggirkan, menggantikan apalagi meniadakan penggunaan bahasa Latin dan nyanyian Gregorian.

Kapel RS Panti Rapih ~ Jogjakarta, Sabtu 12 Februari 2011
Corpus Domini nostri Jesu Christi
custodiat animam tuam
in vitam aeternam. Amen.

Semoga Tubuh Tuhan kita Yesus Kristus
memelihara jiwamu
sampai ke hidup yang kekal. Amen.

"Dominus meus, et Deus meus!" --
"Ya Tuhanku DAN Allahku."
Yoh 20:28

Diterjemahkan dari bagian FAQ
Situs Link terkait berikut penjelasan lebih komprehensif dapat ditemukan di:

Thursday, January 22, 2015

Tolak Gugatan Gereja Katolik, Pengadilan Malaysia Tegaskan Umat Kristen Dilarang Pakai Kata 'Allah'

Warga Muslim Malaysia tolak gereja pakai sebutan 'Allah'
Merdeka.com - Pengadilan Tingkat Federal Malaysia kemarin menolak gugatan Gereja Katolik di Malaysia yang ingin tetap diperbolehkan memakai kata "Allah" dalam jurnal mingguan berbahasa Melayu, Herald. Keputusan tersebut menandai akhir enam tahun upaya hukum kelompok minoritas Kristen agar diakui haknya setara dengan umat muslim.

Saat itu diputuskan bahwa media milik jemaat Katolik Herald Malaysia tidak boleh menyebut Allah untuk nama Tuhan, ujar Hakim Abdull Hamid Embong saat membacakan putusannya yang didukung lima hakim kemarin di Putrajaya, Malaysia.

�Putusan yang dikeluarkan hari ini sangat mengecewakan, tapi keputusan ini bukanlah akhir (perjuangan memakai sebutan Allah)," ujar editor jurnal mingguan Herald, Pastor Lawrence Andrew seperti yang dilansir Channel News Asia, Kamis (22/1).

Pastor Lawrence masih optimis perjuangan mereka akan berbuah hasil. Sementara ini gereja dilarang mencetak kata Allah dalam publikasi jurnal mingguan berbahasa Melayu tersebut.

"Apa yang bisa kita lakukan? Tangan kami seperti terikat sekarang dan kita akan terus berdoa dan berharap agar hak-hak minoritas tidak diinjak-injak," katanya.

Baca juga : Malaysia Sita 300 Kitab Injil Karena Gunakan Kata "Allah", Allah Hanya Tuhan Milik Umat Islam

Kristen dan Katolik merupakan agama minoritas, dengan pemeluk cuma 9 persen dari total populasi Malaysia. Baik pemeluk Islam maupun Kristen di negeri jiran selama dua abad sama-sama kata Allah untuk menyebut Tuhan dalam bahasa Melayu.

Namun kasus enam tahun lalu, ketika Herald beredar di kalangan muslim, memicu fatwa beberapa negara bagian untuk penggunaan kata Allah di agama lain selain Islam. Alasannya, bila warga Kristen dibolehkan menyebut tuhannya sebagai Allah, maka akan membingungkan umat Muslim serta mengganggu toleransi beragama di Malaysia.

"Kaum Muslim tidak akan suka jika para non-Muslim menggunakan kata-kata Allah untuk menggambarkan Tuhan mereka. Hal ini merupakan larangan keras bagi para non-Muslim untuk menggunakan kata Allah sama sekali," kata Presiden Asosiasi Pengacara Muslim Malaysia, Zainul Rijal Abu Bakar yang mendukung keputusan Pengadilan Federal.

Namun demikian, Bridget Welsh, peneliti dari Center for East Asia Democratic Studies National Taiwan University, menyatakan putusan melarang umat Kristiani untuk menggunakan kata 'Allah' dalam menjalankan agamanya menunjukkan intoleransi di Malaysia. Dia menambahkan masih ada ketegangan yang nyata di antara pemeluk agama di Malaysia.

Baca juga :  Brunei Darusalam Melarang Non Muslim Gunakan Kata "Allah"

Sumber :

Friday, January 16, 2015

Hukum Mati Bandar Narkoba, Gereja Katolik Kecam Presiden Jokowi

Jokowi dan Uskup Agung Mgr. Ignasius Suharyo, Pr

JAKARTA - Gereja Katolik Indonesia mengecam sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak grasi yang diajukan 64 terpidana mati kasus narkotika dan obat terlarang (narkoba). Menurut Uskup Agung Jakarta Mgr Ignasius Suharyo, tak ada seorang pun yang berhak atas hidup orang lain.

"Ajaran gereja tak mengizinkan adanya hukuman mati," ujarnya dalam konferensi pers seusai memimpin misa di Gereja Katedral, Jalan Katedral 7B, Jakarta, Kamis, 25 Desember 2014.

Hal itu disebabkan bisa jadi terpidana mati kasus narkoba dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab, sehingga orang yang tak bersalah harus menjalani hukuman mati.

"Seolah-olah bandar narkoba yang dijatuhi hukuman mati harus dieksekusi, padahal mereka belum tentu bersalah. Bisa jadi karena sistem pengadilan di negeri ini yang buruk, sehingga karena kebodohannya seseorang bisa dimanfaatkan oleh orang lain," kata Uskup Agung Jakarta ini.


Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) yang mewadahi gereja-gereja Katolik di Indonesia menyatakan keprihatinan atas keputusan pemerintahan Joko Widodo yang akan melakukan eksekusi mati terhadap enam orang terpidana kasus narkoba. Eksekusi akan dilakukan Kejaksaan Agung pada  Minggu (18/1/2015) mendatang.

Pastor Siswantoko Pr dari Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengatakan setidaknya ada lima alasan Gereja Katolik menolak hukuman mati.

"Alasan pertama, siapa pun tidak punya hak mencabut nyawa orang lain karena hidup adalah anugerah dari Tuhan dan hanya Tuhan-lah yang berhak mencabutnya," kata Pastor Siswantoko yang akrab disapa Romo Koko dalam jumpa pers di kantor KWI, Cikini, Jakarta Pusat, Senin.

Hak untuk hidup adalah hak universal dan tidak dapat diperdebatkan lagi. Gereja menganggap, penegakan hukum di Indonesia masih diliputi persoalan. Mulai dari salah tangkap, salah hukum, hukuman yang tak sebanding dengan kesalahannya dan lain-lain. Penegakan hukum pun banyak diintervensi kepentingan politik dan mafia peradilan. Selain itu, Romo Koko menyampaikan keraguan Gereja Katolik akan sistem hukum di Indonesia yang menyatakan ke-64 terpidana mati tersebut benar-benar "gembong" narkoba.

"Kami menyangsikan apakah ke-64 orang itu sungguh-sungguh bandar narkoba karena sistem hukum di negara kita masih memprihatinkan. Contohnya saja, masih banyak kasus salah tangkap, hukum kita cenderung kuat di bawah tapi lemah di atas, apakah benar ke-64 terpidana itu bebas intervensi politik? Jangan-jangan di antara ke-64 terpidana mati itu ada yang cuma pengguna, apakah pemerintah bisa memastikan peradilan yang dilakukan sungguh-sungguh transparan?" katanya.

Lebih lanjut Romo Koko menyampaikan, jika hukuman mati digunakan pemerintahan Jokowi sebagai "shock therapy", maka Gereja Katolik menuntut penelitian yang membuktikan hukuman mati benar-benar mampu menurunkan tingkat kejahatan.

"Sampai hari ini sudah ada delapan orang yang dieksekusi tapi toh belum ada efek jera juga. Di Malaysia yang secara tegas menerapkan hukuman mati bagi kasus narkoba pun, kasus narkoba marak luar biasa di sana. Jangan sampai ini salah sasaran, inginnya menghentikan narkoba tapi malah bunuh anak negeri," katanya.

Tentangan keras terhadap hukuman mati didasarkan pada keyakinan gereja bahwa tidak seorang pun berhak menghilangkan nyawa orang lain, termasuk negara. Hak hidup adalah hak yang paling mendasar yang diberikan oleh Sang Pencipta. Oleh sebab itu, gereja selalu membela kehidupan. Dalam siaran pers itu disebutkan, gereja menilai, penjahat kelas kakap sekalipun mempunyai hak untuk hidup. Negara sebagai pelindung rakyat pun harus memberikannya.

"Hukuman mati bukanlah cara penegakan hukum yang bermartabat, hukuman mati malah untuk menghilangkan kehidupan. Apakah cara menyelamatkan jutaan orang harus mengorbankan ke-64 orang itu? Ini bukan upaya hukum yang bermartabat," katanya.

Menurut KWI, hukuman mati sebenarnya menggambarkan kegagalan suatu negara dalam membina narapidananya. Lembaga Pemasyarakatan yang seharusnya berfungsi agar napi menyesal dan menjadi orang baik, tidak terjadi.

"Berdasarkan hal-hal tersebut maka Gereja Katolik Indonesia mendesak pemerintah Jokowi agar menghapuskan hukuman mati karena tidak memiliki dampak apa-apa untuk terwujudnya penegakan hukum yang bermartabat dan keadilan sebagaimana yang diharapkan," katanya.

Sekitar 140-an negara, kata Romo Koko, telah menghapuskan hukuman mati.

"Kita usulkan agar hukuman mati diganti hukuman penjara seumur hidup tanpa ada pengurangan (remisi) atau pengampunan (grasi). Dengan demikian kita memiliki dua keuntungan: negara tak perlu mencabut nyawa dan negara memberi kesempatan manusia untuk berubah, dengan ini orang akan jera. Jangan sampai hanya karena ingin menyenangkan publik, Jokowi melakukan hukuman mati," katanya.

KWI sendiri telah memperjuangkan penghapusan hukuman mati sejak empat tahun lalu melalui "Koalisi Hati" atau gerakan koalisi Anti Hukuman Mati. Pendekatan terhadap para terpidana hukuman mati dilakukan oleh KWI melalui kegiatan pelayanan, termasuk di LP Nusa Kambangan.

Sumber :

Wednesday, January 14, 2015

Chelsea Olivia Pernah Bermimpi Menikah di Altar Gereja Katolik


Artis Chelsea Olivia membenarkan dirinya mengikuti keyakinan kekasihnya, pemain sinetron Glenn Alinskie jelang pernikahan. Meski telah dibaptis, dia mengaku masih menyembah Tuhan yang sama.

"Pindah ke Katolik dari KTP aja. Saya nggak pindah keyakinan. Tuhan saya masih Yesus," kata Chelsea, usai tampil di 'Obsesi' kawasan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (9/1/2015).

Baca juga :  Chelsea Olivia Kini Bersatu Dalam Gereja Katolik

Sebelumnya Chelsea menganut Protestan. Namun, bungsu tiga bersaudara ini membantah keputusannya berpindah keyakinan karena dipengaruhi Glenn. Dia bulat memeluk Katolik lantaran banyak keluarganya yang sudah lebih dulu memeluk kepercayaan ini. Sejak dulu, kata Chelsea, dia memang berangan-angan menikah di Gereja Katolik, bahkan pernah bermimpi menikah di altar Gereja Katolik.

"Aku juga pernah bermimpi kalau aku pengin nikah di Gereja Katolik, itu kan altarnya panjang banget. Nah, aku pengin jalan di altar diantar sama papa aku dan didampingi oleh lelaki pilihanku, Glenn," tandasnya.

Sumber :

Recent Post