Latest News

Friday, December 19, 2014

Ucapkan Selamat Natal, FPI Sebut Presiden Jokowi Murtad


TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Syura Front Pembela Islam Misbachul Anam meminta Presiden Joko Widodo tidak mengucapkan selamat Natal. Sebab, kata Misbach, Jokowi murtad atau keluar dari Islam jika mengucapkan selamat kepada umat Kristiani yang merayakan momen kelahiran Yesus Kristus tersebut.

"Haram hukumnya mengucapkan selamat Natal bagi orang Islam. Tak terkecuali bagi Presiden Jokowi," kata Misbach kepada Tempo, Kamis, 18 Desember 2014.

Misbach mengatakan ucapan Natal membuat orang Islam murtad karena berarti mengakui eksistensi agama lain. Sebab, Natal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kelahiran Yesus Kristus. "Jadi, ketika ada orang Islam yang mengucapkan Natal, artinya mereka memberi selamat atas kelahiran Yesus," ujarnya.

Dengan pengertian itu, menurut Misbach, perdebatan seputar ucapan selamat Natal memiliki dampak serius bagi keyakinan seorang muslim. "Padahal dalam Islam jelas Tuhan itu lam yalid wa lam yulad. Tuhan itu tidak dilahirkan dan tidak melahirkan," katanya.

Misbach meminta prinsip akidah tersebut dihormati oleh pemeluk agama lain. Menurut dia, akidah tidak bisa dipermainkan dan seseorang atau instansi yang memaksakan pelanggaran akidah bisa dipidana. "Karena mereka memaksakan sesuatu terhadap norma keagamaan tertentu," ucapnya.

Berbeda dengan FPI, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bersikap toleran. Organisasi berbasis Islam terbesar di Indonesia berpendapat, memberi ucapan selamat Natal merupakan wujud toleransi beragama. Sikap itu dinilai tidak akan mempengaruhi akidah dan identitas seorang. "Sikap saling menghormati seperti itu tidak ada urusannya dengan pengakuan imani," kata Slamet Effendy Yusuf, salah satu Ketua NU.

Dalam ajaran Islam, lanjut Slamet, sikap toleransi itu tidak berarti seorang muslim boleh menghadiri dan merayakan Natal. "Karena aktifitas yang bersifat ibadati jelas dilarang. Islam menegaskan prinsip beribadah menurut ajaran masing-masing," katanya.

Dalam perkembangannya, kata Slamet, sejumlah ulama memperkenalkan istilah tasyabbuh yang artinya menyerupai pemeluk agama lain. Istilah itu muncul karena laku budaya seseorang merupakan bagian dari identitas agama tertentu.

"Jadi, Islam tidak mengharapkan pemeluk agama lain untuk menggunakan sarung, kopiah dan baju koko saat perayaan Hari Raya Idul Fitri. Sebaliknya, umat Islam tidak perlu menggunakan pakaian ibadah agama lain saat mereka merayakan hari raya," kata Slamet.

Meski demikian, kata Slamet, NU masih mentolerir jika ada umat Islam yang menggunakan simbol agama tertentu, asalkan itu tidak terkait dengan masalah ibadah. "Misalnya jika ada penjaga toko yang harus menggunakan pakaian sinterklas," kata Slamet.

Menurut Slamet, prilaku itu bisa dibenarkan asalkan karyawan itu memahami apa yang mereka lakukan. "Tapi harus dipahami bahwa pekerjaaan itu tidak ada urusannya dengan ibadah. Intinya seorang muslim harus kokoh aqidahnya," kata Slamet.

Sumber :

No comments:

Post a Comment

Recent Post